Cover Depan Relationshit |
Saya akan
me-review buku ketiga dari seorang penulis bernama Alitt Susanto, buku
ketiganya yang baru rilis pada bulan Mei 2014 kemarin, Relationshit. Buku yang sudah sekitar 3 minggu yang lalu
selesai saya 'khatamkan', tapi karena di sini sangat jarang sinyal yang bagus,
maka jadilah saya fakir Wi-Fi yang jauh akan jangkauan area hotspot.
Kenapa saya tertarik untuk me-review buku ini ?
Karena buku ini adalah buku yang sarat akan pesan yang terjadi di kehidupan
kita sehari-hari yang (mungkin) banyak yang kita tidak sadari.
Baiklah,
biarkan saya mulai dengan satu quote yang ada di dalam buku ini.
“Terima kasih. Dari kamu aku belajar: Hidup
tanpa punya apa-apa memang pedih, tapi lebih pedih lagi kalo hidup tanpa
siapa-siapa.”- Relationshit, Alitt Susanto.
Relationshit
diterbitkan oleh penerbit Bukune di Jakarta pada bulan Mei 2014. Genre dari
buku ini adalah Novel/Pelit (Personal Literature). Ditulis oleh penulis gokil
yang (menurut saya pribadi) sangat peka
terhadap keadaan, Alitt Susanto. Buku ini terbit setelah buku Shitlicious dan
Skripshit terbit dahulu.
Saat kalian
telah mempunyai buku ini, saya harap jangan melewatkan satu tulisan pun yang
ada di buku ini. Meskipun tidak ada pesan yang berarti di setiap kalimatnya
yang kalian dapat, namun saya yakin akan ada tawa maupun senyum simpul yang
mengembang di wajah kalian.
Ditanda tangani dan dikasih harapan sama penulisnya waktu di Amplaz |
Ada sebelas
bab di dalam buku ini, yang masing-masing bab menceritakan pengalaman hidup
penulis. Oiya, jika kalian berpikir ini buku hanya bercerita soal hubungan
antara remaja dengan remaja atau hubungan percintaan antara penulis dengan
mantan-mantan kekasihnya yang sudah terlalu biasa dalam novel-novel yang lain.
Anda salah. Buku ini secara garis besar menceritakan hubungan antara penulis
dengan kerabat-kerabat dekatnya. Contoh, mantan kekasih, kakek-nenek, adik,
teman, dan lain-lain bahkan dengan benda mati. Hubungan dengan Yang Maha Kuasa?
…. Ada.
Buku ini
diawali dengan kisah penulis yang gagal dalam urusan cintanya dengan
mantan-gebetannya karena ia tidak nyaman dengan kelakuan
mama-mantan-gebetannya. Di bab-bab seelanjutnya ada cerita ia yang harus
berpisah dengan teman dekatnya yang membuat kita akan semakin mengerti apa itu
makna sahabat.
Saya pribadi
sangat terkesan akan gaya penulisan Alitt dalam bukunya ini. Ia sangat
konsisten untuk selalu menyelipkan komedi di beberapa paragraf dalam satu bab
tanpa meninggalkan kekhidmatan dan pesan yang terserap.
Benar apabila
banyak yang berkomentar jika buku ketiganya ini lebih banyak pesan yang diambil
dari buku-buku sebelumnya. Ini artinya, Alitt selalu bisa mengembangkan gaya
penulisannya dan ide cerita supaya tidak ‘basi’ oleh zaman.
Sebagai
pembaca saya sangat tertarik dengan bab Long Distance Relain-ship dan Gue
adalah Anak Eyang. Jujur saja jika di bab Long Distance Relain-ship saya merasa
bisa masuk sebagai tokoh cerita yang dibangun oleh Alitt. Bukan, bukan soal
pengalaman pribadi, tapi lebih karena Alitt bisa memasukkan ‘roh’ tokohnya ke
pembaca. Di bab Gue adalah Anak Eyang, saya kagum terhadap Alitt yang bisa
bangkit menjadi orang yang sukses dengan latar belakang yang menurut financial
kurang mendukung. Inspiratif. Dan tetap, berbalut komedi yang segar.
Karena di
setiap bab yang Alitt tulis di bukunya ini selalu menyisakan kata-kata dalam
hati, “Kok iya ya?” atau “Eh iya.” Atau “Ah sama. Kampret.” Ya semacam itulah. Jadi kayak menampar diri
sendiri aja. Pokoknya mewakili.
Dari
tulisan-tulisan Alitt entah di blog atau buku atau bahkan temlen twitter, saya
(atau kita) akan mendapat pencerahan baru mengenai semangat berkarya. Nggak
percaya? Buktikan saja sendiri nih di shitlicious.com atau cari buku-bukunya
aja di toko buku.
Good Job Mas Alitt!
Semangat
pagi! Tetap berkarya! Tetap mencoba!
0 komentar:
Posting Komentar